Debar
jantungku semakin tak menentu. Langkah kakiku seperti tertahan, antara
meneruskan niat untuk menemui sang Kembang, atau mengurungkannya. Surat
bersampul merah Jambu yang aku pegang di tangan kananku pun mulai basah
karena keringat dingin. Tapi apa boleh buat, aku kini sudah berada di
pekarangan taman bunga milik sang kembang, tak mungkin aku balikkan
badan dan kembali pulang.
Pekarangan
mungil itu terlihat asri didominasi mekar bunga Gladiol. Setidaknya ada
sekitar sebelas jenis bunga Gladiol yang bermekaran disana. Ada jenis
Gladiol Rose Van Lima, Malang Strip, Holland Merah, Holland Putih,
Cangkurileung dan satu bunga yang aku sangat mengenal jenis Gladiol itu,
yah itu adalah jenis bunga Gladiol Priscilla, bunga yang sangat cantik.
Aku
yakin sekali itu adalah jenis Gladiol Prisscilla. Kelopak bunganya
berwarna putih cerah dengan bentuk floret bulat yang bersusun
selang-seling dengan tepi sepal yang berkerut, cantik dan memukau. Aku
menghampiri Gladiol Priscilla dan berusaha menyentuhnya dengan halus.
“Jangan
terlalu keras menyentuhnya mas. Kelopak bunganya baru saja mekar, masih
rapuh. Belum mekar dengan sempurna,” suara lembut Kembang yang datang
tiba-tiba sungguh mengagetkanku.
Aku
tersipu. ternyata kembang sudah memperhatikanku sejak tadi, ahh kenapa
aku tidak menyadarinya. Kembang menatapku dengan senyum hangat.
Jantungku semakin berdebar kencang. Surat bersampul merah jambu aku
selipkan ditelapak tangan. mendadak aku jadi ragu dan malu untuk
memberikan surat itu.
“Tumben
mas mampir kesini? Sudah lama lho mas nggak mampir ke rumah Kembang.
kalau pas ronda juga jarang-jarang lewat sini……” lanjut Kembang memecah
kesunyian.
“Oh,
eh.. ehhm… iya. Akhir-akhir ini mas sibuk. Hmm… eh… anu… tadi mas lewat
sini, terus lihat bunganya cantik-cantik. Jadi mas tergoda untuk
memetik…” aku gugup menyahut.
“Oh
iya, Gladiol Priscilla ini aku sendiri lho yang mengambilnya, aku
membawanya pulang kemudian aku rawat hingga berbuga, berharap suatu saat
nanti aku akan sama dengan bunga ini, akan ada seseorang yang membawaku
pergi ketika tiba waktunya nanti” kata-kata Kembang terasa amat tajam
menusuk hatiku. Ingin sekali aku ungkapkan sebuah kata-kata, namun
lidahku menjadi kelu, takut jika apa yang akan aku ucapkan akan merusak
hati kembang.
Aku pamit dengan berjuta rasa. Meninggalkan Kembang yang memberi sebuah pengharapan yang tak mampu aku artikan.
“Bunga-nya
baru mulai mekar mas. Masih rapuh kalau disentuh. Tunggulah beberapa
saat lagi jika mas akan memetiknya.……” suara Kembang lirih terdengar
dibelakang.
Aku
sempat menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya. Benarkah Gladiol
Priscilla itu aku yang akan memetiknya jika sudah mekar sempurna? Hanya
Kembang yang bisa menjawabnya. (And)
0 comments :
Post a Comment