Di
tengah heningnya malam, hanya suara detak jarum jam di kamar yang
menemani kesendirianku, tiba-tiba aku merasakan sesak ini lagi. Rasa
sesak kehilangan, rasa sesak kesendirian, rasa sesak pencarian yang
tidak kutemukan, rasa sesak yang tak bisa aku gambarkan. Perlahan,
bulir-bulir itu menetes lagi, membasahi pipiku, lalu jatuh dibantalku.
Perlahan tapi pasti, bulir-bulir itu semakin banyak. Ohh Tuhaann,
sungguh aku merasakan sesak ini lagi.
Kamu yang menjadi penyebab utama rasa sesak ini? Tidak, aku tidak sepenuhnya menyalahkan kamu kenapa aku masih merasakan sesak ini padahal kisah “Tujuh hari untuk selamanya” baru beberapa bulan berlalu. Aku juga menyadarai, aku turut andil penyebab rasa sesak ini tak berkesudahan. Aku terlalu lemah sehingga membiarkan pikiran dan hati ini masih didominasi olehmu..
Aku tau, bahkan sangat tau bagaimana mungkin semua terlewati tanpamu. Keputusan kita saat itu di kota kecilmu, aku tau, aku paham, aku ngerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Aku tak bisa memungkiri bahwa ini jalan yang harus aku lalui sekarang, seperti terbang dengan sebelah sayap, kita harus tetap terbang meskipun sulit. Aku tak bisa mengelak dari garis yang sudah ditentukanNya. Tapi sungguh, aku masih merasa terlalu rapuh untuk melaluinya sendiri, tanpa kamu aku seperti lilin tanpa api. Itulah sebabnya, aku masih, masih dan masih, menginginkanmu berada disini, meski hati ini sangat lelah menunggumu.
Kadang, aku merasa, semua ini tidak adil buatku, tidak adil buat kita. Ketika pohon yang aku tanam dan aku besarkan sendiri dengan penuh kasih sayang, tapi dia menimpaku dengan sangat hebat, sakit memang jika di rasakan, tetapi aku mencoba untuk tak merasakannya. Kita adalah pejuang jarak, kita yang tak bisa bertatap kala ingin menatap, kita yang harus menempuh ratusan kilometer untuk sekedar saling menatap, kita yang hanya bisa melipat jarak tak lebih dari 24 jam dalam ratusan jam yang sudah tak terlipat, kita yang hanya bisa manggantungkan rindu di udara, kita yang hanya bisa menangis menahan rindu yang tak terluapkan.
Tapi aku tau, ini semua terjadi karena sebuah alasan, Dia memberikan ini semua tentu dengan perhitungan yang sangat matang dan sangat terperinci. Aku sadar, ini pasti yang sangat terbaik untuk kita saat ini. Entah kapan kita akan dipertemukan lagi di belahan kehidupan yang entah kapan itu, atau memang, tidak akan pernah terulang lagi kebersamaan-kebersamaan seperti dulu, aku tak pernah tau rencanaNya. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya mengikuti alur yang ada dan tetap mencoba dan selalu mencoba tegar..
Mungkin, cerita Tujuh hari untuk selamanya memang benar-benar akan menjadi sebuah awal dan harapan dari kebersamaan kita. Tatapanmu, celotehmu, ledekanmu, genggaman tanganmu, pelukanmu, suaramu yang bisa aku dengar langsung, mungkin tak akan pernah bisa aku nikmati lagi dari jarak 0 kilometer darimu. Jarak yang sudah pernah kita lewati, mungkin tak akan pernah ada lagi.
Salatiga yang pernah kita telusuri pagi, siang dan malamnya bagai pelancong yang haus akan keindahan suasana riuh rendah kota itu, Solo dan Jogja yang pernah kita taklukkan bersama dalam satu minggu kebersamaan kita, Kediri yang hanya bisa kita nikmati tak kurang dari 4 jam, dan Jakarta yang menjadi saksi bisu cerita beberapa hari, mungkin hanya akan jadi sebuah cerita yang nantinya akan usang dimakan jaman dan tak akan terulang lagi.
Malam ini, aku mengingat semuanya. Aku mengingat detail kebersamaan kita saat 902 kilometer itu berubah menjadi 0 kilometer, aku mengingat detail kebersamaan kita, dari maya menjadi nyata, dari suara menjadi tatapan, dari bayangan menjadi genggaman, dari ketidakadaan menjadi ada, dari semua yang tak terlihat menjadi terlihat.
Kebersamaan kita, membuat aku pernah merasa menjadi Raja dihatimu, membuat aku merasa sangat disayangi, membuat aku merasa sangat diperhatikan, membuat aku merasa sangat dikhawatirkan kala aku sakit, yahh..membuat aku merasa jadi yang teristimewa. Kebersamaan kita, walau banyak air mata di dalamnya, walau banyak konflik di dalamnya, walau banyak rindu yang tak terluapkan, walau banyak rasa sakit yang dialami, tapi kita percaya bahwa tak seorangpun mengatakan bahwa hidup adalah mudah.
Aku merindukan semua itu. Merindukan panggilan sayangmu, merindukan perlakuanmu, merindukan keberadaanmu disini, merindukan celotehmu, merindukan kilat marahmu, merindukan tatapanmu, merindukan tawa renyahmu saat kita bercanda, merindukanmu yang tak pernah ngacuhin aku, merindukan mesage-mu, merindukan dering telpon tengah malam yang sudah tak pernah aku alami lagi, merindukan suaramu yang memberitahukan setiap saat keadaanmu disana, merindukan sosokmu, seutuhnya saat masih bersama. (And)
Kamu yang menjadi penyebab utama rasa sesak ini? Tidak, aku tidak sepenuhnya menyalahkan kamu kenapa aku masih merasakan sesak ini padahal kisah “Tujuh hari untuk selamanya” baru beberapa bulan berlalu. Aku juga menyadarai, aku turut andil penyebab rasa sesak ini tak berkesudahan. Aku terlalu lemah sehingga membiarkan pikiran dan hati ini masih didominasi olehmu..
Aku tau, bahkan sangat tau bagaimana mungkin semua terlewati tanpamu. Keputusan kita saat itu di kota kecilmu, aku tau, aku paham, aku ngerti bagaimana semua itu bisa terjadi. Aku tak bisa memungkiri bahwa ini jalan yang harus aku lalui sekarang, seperti terbang dengan sebelah sayap, kita harus tetap terbang meskipun sulit. Aku tak bisa mengelak dari garis yang sudah ditentukanNya. Tapi sungguh, aku masih merasa terlalu rapuh untuk melaluinya sendiri, tanpa kamu aku seperti lilin tanpa api. Itulah sebabnya, aku masih, masih dan masih, menginginkanmu berada disini, meski hati ini sangat lelah menunggumu.
Kadang, aku merasa, semua ini tidak adil buatku, tidak adil buat kita. Ketika pohon yang aku tanam dan aku besarkan sendiri dengan penuh kasih sayang, tapi dia menimpaku dengan sangat hebat, sakit memang jika di rasakan, tetapi aku mencoba untuk tak merasakannya. Kita adalah pejuang jarak, kita yang tak bisa bertatap kala ingin menatap, kita yang harus menempuh ratusan kilometer untuk sekedar saling menatap, kita yang hanya bisa melipat jarak tak lebih dari 24 jam dalam ratusan jam yang sudah tak terlipat, kita yang hanya bisa manggantungkan rindu di udara, kita yang hanya bisa menangis menahan rindu yang tak terluapkan.
Tapi aku tau, ini semua terjadi karena sebuah alasan, Dia memberikan ini semua tentu dengan perhitungan yang sangat matang dan sangat terperinci. Aku sadar, ini pasti yang sangat terbaik untuk kita saat ini. Entah kapan kita akan dipertemukan lagi di belahan kehidupan yang entah kapan itu, atau memang, tidak akan pernah terulang lagi kebersamaan-kebersamaan seperti dulu, aku tak pernah tau rencanaNya. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya mengikuti alur yang ada dan tetap mencoba dan selalu mencoba tegar..
Mungkin, cerita Tujuh hari untuk selamanya memang benar-benar akan menjadi sebuah awal dan harapan dari kebersamaan kita. Tatapanmu, celotehmu, ledekanmu, genggaman tanganmu, pelukanmu, suaramu yang bisa aku dengar langsung, mungkin tak akan pernah bisa aku nikmati lagi dari jarak 0 kilometer darimu. Jarak yang sudah pernah kita lewati, mungkin tak akan pernah ada lagi.
Salatiga yang pernah kita telusuri pagi, siang dan malamnya bagai pelancong yang haus akan keindahan suasana riuh rendah kota itu, Solo dan Jogja yang pernah kita taklukkan bersama dalam satu minggu kebersamaan kita, Kediri yang hanya bisa kita nikmati tak kurang dari 4 jam, dan Jakarta yang menjadi saksi bisu cerita beberapa hari, mungkin hanya akan jadi sebuah cerita yang nantinya akan usang dimakan jaman dan tak akan terulang lagi.
Malam ini, aku mengingat semuanya. Aku mengingat detail kebersamaan kita saat 902 kilometer itu berubah menjadi 0 kilometer, aku mengingat detail kebersamaan kita, dari maya menjadi nyata, dari suara menjadi tatapan, dari bayangan menjadi genggaman, dari ketidakadaan menjadi ada, dari semua yang tak terlihat menjadi terlihat.
Kebersamaan kita, membuat aku pernah merasa menjadi Raja dihatimu, membuat aku merasa sangat disayangi, membuat aku merasa sangat diperhatikan, membuat aku merasa sangat dikhawatirkan kala aku sakit, yahh..membuat aku merasa jadi yang teristimewa. Kebersamaan kita, walau banyak air mata di dalamnya, walau banyak konflik di dalamnya, walau banyak rindu yang tak terluapkan, walau banyak rasa sakit yang dialami, tapi kita percaya bahwa tak seorangpun mengatakan bahwa hidup adalah mudah.
Aku merindukan semua itu. Merindukan panggilan sayangmu, merindukan perlakuanmu, merindukan keberadaanmu disini, merindukan celotehmu, merindukan kilat marahmu, merindukan tatapanmu, merindukan tawa renyahmu saat kita bercanda, merindukanmu yang tak pernah ngacuhin aku, merindukan mesage-mu, merindukan dering telpon tengah malam yang sudah tak pernah aku alami lagi, merindukan suaramu yang memberitahukan setiap saat keadaanmu disana, merindukan sosokmu, seutuhnya saat masih bersama. (And)
0 comments :
Post a Comment