Inspiration Story Inspiration Story
INSPIRING
GALLERY PHOTO
My dream car, All New Grand livina Impul series,
"Perbuatan baik tidak akan pernah hilang, dia yang menabur kesopanan akan menuai persahabatan, dan dia yang menanam kebaikan akan mengumpulkan cinta"
(Saint Basil)

Cara Menyetel Ketinggian Kopling All New Xenia Avanza

Wednesday, October 14, 2015

Kopling adalah bagian dari mesin mobil yang salah satunya berfungsi untuk membantu perpindahan gigi pada mobil. Kopling ini memilik beberapa bagian yaitu, Clutch Cover (Rumah Kopling), Kampas Kopling, Release Fork (Garpu Pembebas), Releasing Bearing (Pemutus Putaran dari Mesin), Kabel Kopling, dan Pedal Kopling. Di sini kita akan berbicara tentang pedal kopling, yaitu bagaimana cara menyetel ketinggian pedal kopling atau mengatur jarak gerak bebas (Free Play) pedal kopling agar aktivitas berkendara menjadi lebih nyaman dan sesuai dengan selera pengemudi.

Pada mobil All New Xenia pedal kopling masih menggunakan kabel kopling begitu juga untuk All New Avanza mesin 1300 cc masih menggunakan kabel kopling, di sini kita akan mengatur ketinggian kopling dengan menyetel tarikan kabel koplingnya. Kopling yang sudah bermain pada jarak rendah akan memudahkan kaki kiri pengemudi ketika perpindahan gigi terutama pada saat macet yang sering berhenti dan berjalan (stop and go).

Setelan kopling yang tinggi dan rendah terasa nyaman ini di kembalikan kepada selera pengemudi masing-masing, karena ada yang lebih nyaman dengan kopling yang tinggi dan ada juga yang lebih senang dengan kopling yang lebih rendah (jarak pedal ke lantai mobil). Untuk mobil baru keluar dari pabrik biasanya disetel dengan jarak kopling yang tinggi seperti pada mobil All New Xenia dan Avanza. Cara mengatur ketinggian pedal kopling mobil ini dapat dilakukan dengan mudah, ada yang cuma di atur dari dalam kap mesin, namun ada juga yang perlu di atur dari bawah mobilnya yaitu kita harus masuk ke bawah mobil agar dapat menyetel koplingnya (ngolong). Selain mengatur ketinggian kopling (ketinggian pedal ketika kopling mulai bermain) kita juga perlu mengatur Jarak Bebas (Free Play) Pedal Kopling sesuai dengan syarat minimal dan maksimal dari Free Play Pedal Kopling.

Cara Mengatur Ketinggian Kopling:
Untuk mengatur atau menyetel ketinggian kopling All New Xenia-Avanza kita perlu memutar pangkal kabel yang terhubung ke bagian mesin yaitu yang terhubung ke rumah transmisi yaitu kita harus menyetelnya melalui bawah mobil tepatnya di bawah pedal kopling mobil anda. Cari kabel kopling yaitu yang di bagian ujungnya terdapat plastik seperti baut seperti gambar di bawah ini. Silakan putar searah jarum jam (ke kanan) untuk meninggikan kopling (jika disetel searah jarum jam, maka kopling akan bermain ketika kaki diangkat lebih tinggi) ini berfungsi untuk meninggikan kopling. Sedangkan untuk menurunkan atau merendahkan atau ketinggian kopling mulai bermain akan direndahkan atau dilebih rendahkan, maka silakan putar berlawanan jarum jam atau putar ke arah kiri. Silakan atur putaran sampai selera yang diinginkan dengan mencoba menekan pedal kopling dan mencoba berjalan maju atau mundur, jika belum pas silakan masuk ke bawah mobil kembali dan putar lagi ke arah yang diinginkan. Setiap ½-1 putaran silakan dicek ketinggian pedalnya.


Cara Mengatur Jarak Bebas (Free Play) Pedal Kopling:

Free Play atau jarak bebas adalah jarak pedal kopling tidak bermain ketika di tekan dari atas. Ketinggian Jarak Bebas ini normalnya berkisar 15-25 mm (1,5-2,5 cm), cara mengukurnya yaitu dengan menekan dengan lembut pedal kopling dengan menggunakan jari tangan sampai adanya terasa sedikit tahanan, itulah yang dinamakan jarak bebas atau free play. Setelah menurunkan ketinggian kopling, maka free play pedal kopling akan bertambah (terasa kendor). Maka perlu dilanjutkan dengan pengaturan jarak bebas ini. Cara menyetel jarak bebas (free play) pedal kopling ini cukup mudah, yaitu hanya dengan memutar baut yang berukuran 14 mm dengan menggunakan kunci ring ukuran 14 mm (lihat gambar di bawah). Baut ini berfungsi untuk menekan pedal ke arah bawah jika diputar searah jarum jam (dikencangkan) atau diputar ke arah kanan, sehingga pedal kopling akan turun dan jarak bebas pun akan berkurang. Jika ingin meninggikan pedal kopling maka putar searah jarum jam (maka penekanan pada pangkal pedal akan berkurang dan pedal pun akan meninggi.

Mana yang lebih dahulu?
Jika ingin menurunkan kopling, maka atur dulu ketinggian kopling dengan memutar pangkal kabel kopling yang terhubung ke rumah transmisi baru setelah itu atur jarak bebasnya. Sedangkan jika ingin meninggikan kopling, silakan perbanyak jarak bebasnya dahulu baru dinaikkan koplingnya. (And)

Sesibuk Apapun, Jangan Lupa Bersyukur Kepada Tuhan(Mu)

Tuesday, October 13, 2015


Pagi hari itu entah apa yang membuat aku terbangun lebih cepat dari biasanya, aku sendiri sadar bahwa hari itu adalah hari libur, oleh karena itu aku coba pejamkan lagi kedua mataku untuk sedikit bermalas2an namun usahaku sia-sia, ku tengok jam yang menempel di dinding masih menunjukkan pullup 05.00wib, dan seperti biasa setelah bangun tidur pagi aku selalu menyempatkan doa pagi untuk mengucap syukur atas berkat Tuhan yang boleh aku nikmati setiap hari. Selesai berdoa aku coba singkapkan tirai yang ada di balik jendela kamar dan kulihat di luar masih gelap dan sepi, ah masih terlalu pagi rupanya.

Aku segera beranjak dari kamarku kemudian kubuka pintu luar dan duduk di teras depan rumah. Sungguh pagi yang indah, kuhirup dalam-dalam udara pagi yang sangat sejuk ini, kebetulan lingkungan tempat tinggal saya masih banyak pepohonan yang rindang, setetes embun pagi juga masih terlihat di antara dedaunan pohon yang ada di taman yang menghijau.

Sungguh, aku seperti merasa menjadi orang yang yang sangat beruntung. Beruntung karena masih bisa menikmati udara yang bersih ini di pagi hari. Semilir angin menerpa badan, hembusannya terasa sampai menusuk rongga jiwa, kesegaran tiada tara yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berkat Tuhan pagi itu membuat aku terbuai dan membawaku larut ke dalam sebuah kisah perjalanan hidup yang sangat keras di masa lalu.

Aku di lahirkan, di didik dan di besarkan dengan cara yang sangat sederhana oleh kedua orang tuaku, aku sangat bangga terhadap ke dua orang tuaku, meski mereka tidak punya apa2 namun kerja keras mereka sungguh luar biasa, membesarkan ketiga anaknya, membiayai semua pendidikan ketiga anak-anaknya hingga semua bisa lulus kuliah. Disaat proses kelulusan perkuliahan dan belum juga di wisuda, sebuah perusahaan asing yang berkantor di Jakarta sudah menawarkan kontrak kerja kepadaku, sungguh karya Tuhan sungguh luar biasa.

Lulus kuliah Tahun 2005 aku segera terima tawaran kerja dan segera kutandatangani kontrak kerja itu, ku lihat raut wajah bahagia kedua orang tuaku ketika aku langsung mendapat pekerjaan tanpa harus bersusah payah melamar kerja kesana kemari, segera mendapat pekerjaan bukan berarti perjuangan sudah selesai, seiring berjalannya waktu banyak suka duka yang boleh aku alami, perjuangan demi perjuangan pun harus aku alami. Seperti halnya tunas baru, untuk tumbuh menjadi pohon yang besar tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus di alami.

Belum sempat aku membalas jasa kedua orang tuaku, cerita pilu rupanya lebih dulu harus aku alami, Bapak mengalami sakit keras dan pada akhirnya berpulang ketika aku sedang mengalami hidup dengan kondisi "berjuang". berharap kedua orang tua masih beroleh umur panjang dan membahagiakan mereka, namun ternyata Tuhan berkata lain, cerita yang sangat menyedihkan, namun itulah hidup, kita harus menerima apa yang sudah Tuhan gariskan, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, yang harus kita siapkan adalah, berjuanglah selagi bisa namun jangan lupa untuk bahagia, selalu berbuat baiklah terhadap sesamamu tanpa henti dan tanpa pamrih.

Tahun 2010 menjadi babak baru perjuangan selanjutnya, berawal dari sebuah tawaran kerja oleh perusahaan asing (Japan,-red) lagi, tanpa berpikir panjang aku segera terima dan bergabung hingga sekarang. Wow sungguh luar biasa, ini seperti sebuah mimpi.

Aku yang dulu selalu cuek dengan sebuah resolusi, kini mulai mencoba memberanikan diri membuat sebuah target-target kecil, membuat sebuah list (realistis) yang menjadi prioritas dan harus di perjuangkan, supaya ada sesuatu hal yang dapat memacu semangat. Dan Puji Tuhan resolusi-resolusi kecil itu sedikit demi sedikit dapat terealisasi meskipun ada yang sedikit terlambat, Terimakasih Tuhan BerkatMu sangat luar biasa. (And)


My Princess #KelopakBunga

My Son #Arkananta

My Home Sweet Home

My Icy-White

Ruang Kosong Itu Bernama Rindu

Tuesday, March 17, 2015

Aku berjalan di sebuah lorong dengan penerangan yang begitu terang. Berjalan terus tanpa mencoba untuk menghentikan langkah, aku terus menerawang jauh ke depan mencoba menerka dan menebak apakah ada kebahagiaan di depan sana?

Berjalan jauh tanpa merasa lelah, tanpa satu langkah kaki pun yang kubiarkan berhenti, aku tak tahu telah seberapa jauh berusaha berjalan dari tempat semula aku berdiri, dari tempat semula aku berpijak, mencoba menghindar dari semua perasaan yang menjenuhkan, mencoba menjauh dari semua perasaan yang membosankan.

Aku ingin melupakan sejenak semua yang ada, semua yang telah terjadi biarlah sirna, biarlah menjadi fana, aku ingin menjadi amnesia, melupakan sejenak semua yang telah terjadi, membiarkan pergi sesuatu yang pernah terlewati.

Namun, entahlah... aku sudah berusaha keras, mencoba mengikuti apa yang di kehendaki, berusaha dan terus berusaha tanpa sekalipun terbesit untuk menyerah tanpa ada hasil yang indah pada akhirnya.

Aku hanya rindu 'Kita...'
 
Rindu dimana dulu selalu ada waktu
Dimana dulu selalu ada canda
Dimana dulu selalu ada kamu dan aku
Dimana dulu selalu ada haru
Dimana dulu selalu ada ceria
Dimana dulu selalu ada kita

Aku hanya tidak tahu, kapan cerita tanpa 'kita' ini akan berakhir? Aku hanya tidak tahu, apakah semua bisa kembali? Kembali seperti masa lalu yang jika di bakar oleh api tak akan habis dan berubah menjadi abu, aku hanya ingin rindu itu dapat terobati, sederhana, sangat sederhana. Hampir tidak membutuhkan apa-apa untuk mewujudkannya.

Hanya membutuhkan kerendahan ego, kedewasaan, kepedulian dan hati, itu saja.
Aku tak ingin terus seperti ini, kebersamaan seperti fatamorgana diteriknya siang.

Namun sekarang semua biarlah berjalan apa adanya, tidak lagi berandai-andai. Tidak tahu, dan tidak ingin berusaha menebak apa yang akan terjadi esok pagi.

Merelakan sebuah alur cerita yang harus terdampar pada heningnya sepi, aku tak akan diam, aku akan terus berjalan di dalam lorong cahaya, mencari sebuah jalan keluar, mencari sebuah pintu yang benar. Namun tidak inginkah apa yang aku temukan? hanyalah sebuah pintu, pintu yang terbuat dari kayu berwarna abu-abu yang mulai usang dimakan waktu, pintu yang mulai rapuh ketika disentuh.

Aku mendorong pintu secara perlahan dan berharap ini adalah jalan keluar, tapi apa yang ku temukan, pintu itu telah mengantar aku ke sebuah ruang kosong yang tak berpenghuni. Sebuah ruang kosong bernama rindu dan aku telah terkunci didalamnya, hanya kamu yang memiliki kunci pintu untuk mengeluarkan aku dari tempat ini.

Datanglah, keluarkan aku dari sini dan jangan pernah pergi lagi.
(And)

Dewi Drupadi

Thursday, December 11, 2014

Bersuamikan lima ksatria Pandawa
Baginda Drupada, Raja Pancala, mengadakan sayembara memanah. Baginda memiliki busur pusaka sakti yang tak sebarang orang dapat menariknya. Busur itulah yang harus digunakan setiap peserta sayembara memanah yang diselenggarakannya untuk mendapatkan calon menantu. Barangsiapa dapat menariknya berpeluang menjadi jodoh yang akan dipilih sendiri oleh Dewi Drupadi, putrinya. Banyak raja dan ksatria mengikuti sayembara itu, termasuk para Kurawa dan Adipati Karna. Pandawa pun, dalam samaran sebagai brahmana, berbaur dengan para hadirin.

Para peserta dan penonton sebelumnya dijamu oleh Raja Drupada. Dewi Drupadi juga menghadiri perjamuan itu dengan karangan bunga yang akan dikalungkannya di leher pemenang yang nanti dipilihnya sebagai calon suami. Setelah perjamuan selesai, berkumpullah semua orang di tempat sayembara. Satu persatu peserta mencoba menarik busur itu, tetapi tak seorang pun berhasil.

Ketika sampai gilirannya, Adipati Karna segera maju. Baru saja ia mengangkat busur, terdengar teriakan Dewi Drupadi: “Aku tidak mau menikahi anak kusir kereta!”

Adipati Karna sangat malu. Diletakkannya kembali busur itu dan ia pun mengundurkan diri.

Hingga semua raja dan kastria mendapatkan giliran, tak seorang pun berhasil menarik busur itu. Arjuna pun tampil diiringi pandangan mata para raja dan ksatria yang tidak menyukai keikutsertaan seorang brahmana dalam sayembara itu. Namun Arjuna tidak menghiraukan mereka. Ia mengambil busur itu, menariknya dengan mudah dan mulai membidik sasaran yang ditentukan. Tak lama kemudian terdengarlah gemuruh sorak sorai. Anak panah bidikan Arjuna tepat mengenai sasaran. Hadirin pun terpesona oleh kesaktian Arjuna.

Dewi Drupadi sangat girang setelah mengetahui pemenang sayembara ayahandanya adalah seorang brahmana muda yang tampan. Ia segera berlari mendekati Arjuna dan mengalungkan karangan bunga ke leher sang pemenang, kemudian menariknya pergi dari tempat sayembara itu. Menyaksikan hal itu, Raja Drupada yang sesungguhnya tak ingin bermenantukan seorang brahmana pun senang karena pemenang sayembaranya itu seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna. Namun para raja dan ksatria yang kalah mencemooh dan kemudian bahkan mengamuk. Maka Pandawa segera menghalau dan menundukkan para pengacau. Kemudian Pandawa memboyong Dewi Drupadi untuk menghadap Dewi Kunti.

Setelah semua berkumpul di hadapan Dewi Kunti, Yudistira, sulung Pandawa, melapor: “Ibunda, karena doa Ibunda, sayembara yang diadakan Raja Drupada telah dimenangi oleh Adinda Arjuna. Turut menghadap Ibunda saat ini adalah Dewi Drupadi, putri beliau. Sang Begawan Wyasa pernah mengatakan bahwa Dewi Drupadi akan bersuamikan lima orang sebagai anugerah dewa.“

Singkat cerita, Dewi Kunti pun akhirnya setuju para putranya menjadi suami Dewi Drupadi sekaligus.

Sang Kresna, raja bangsa Yudawa dan Baladewa kakaknya terlambat datang ke tempat sayembara. Setelah mengetahui bahwa sayembara telah berakhir dan pemenangnya adalah Arjuna yang menyamar brahmana, mereka pun menemui Pandawa. Sang Kresna mengatakan bahwa ia adalah saudara para Pandawa. Drestadyumna, kakak Dewi Drupadi juga datang ke tempat itu dan mengintip dari luar untuk mengetahui siapa sesungguhnya brahmana pemenang sayembara yang diadakan ayahandanya.

Setelah mengetahui bahwa brahmana itu adalah Arjuna, Drestadyumna bergegas pulang dan melapor kepada Raja Drupada. Baginda sangat girang mendengar keterangan Drestadyumna. Jauh di dalam hatinya ia memang berharap akan dapat menjadikan Arjuna, ksatria penengah Pandawa yang sangat terkenal itu, sebagai menantunya.

Esok harinya, Pandawa dipanggil oleh Baginda Drupada. Ia menyatakan kegembiraannya karena pemenang sayembaranya adalah Arjuna. Namun Arjuna mengatakan bahwa Dewi Drupadi sesungguhnya bukan hanya akan menjadi istrinya, melainkan istri Pandawa Lima sebagaimana telah dinyatakan oleh Begawan Wyasa. Dalam lima masa hidupnya yang lalu, Dewi Drupadi selalu memohon anugerah dewa agar bersuamikan ksatria utama. Ketekunannya telah menghasilkan anugerah istimewa yang sudah pasti mengejutkan Raja Drupada pula. Sungguh tak terduga bahwa putrinya akan menjadi istri kelima ksatria itu. Belum pernah terjadi seorang perempuan bersuamikan lima orang dalam saat yang sama. Pada umumnya, lelakilah yang beristri lebih dari seorang. Ia tak dapat menyetujuinya.

Ketika mereka sedang membicarakan hal itu, tiba-tiba datanglah Begawan Wyasa. Beliau menerangkan asal usul Dewi Drupadi harus bersuami lima orang sekaligus. Setelah mendengarkan keterangan itu, Raja Drupada pun pada akhirnya menyetujui putrinya bersuamikan Pandawa Lima. Turut hadir pula Hyang Narada yang juga memberikan keterangan serupa kepada Raja Drupada.

“Yang penting, keinginanku bermenantukan Arjuna sudah tercapai,” kata hati Raja Drupada yang segera memerintahkan penyelenggaraan pesta besar untuk merayakan perkawinan putrinya dengan Pandawa Lima.

Pandawa Lima yang beristrikan Dewi Drupadi mengadakan perjanjian untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka harus bergantian mendekati Dewi Drupadi, mulai dari Yudistira sebagai sulung Pandawa Lima, kemudian Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Yang melihat saudaranya sedang berduaan dengan Dewi Drupadi harus mengasingkan diri ke dalam hutan selama 10 tahun. Perjanjian itu disaksikan oleh Hyang Narada dan Begawan Wyasa.

Dari setiap Pandawa, Dewi Drupadi mendapatkan masing-masing seorang putra, berturut-turut: Srutakarma, Srutasena, Pratiwindya, Satanika dan Prasani.
Pertaruhan Drupadi

Patih Hastinapura, Arya Sakuni menasihati Prabu Duryudana yang hendak membalas dendam karena merasa telah dipermalukan ketika ia berkunjung ke Indraprasta, istana para Pandawa yang jauh lebih indah daripada istana Hastinapura. Arya Sakuni meyakinkan Duryudana bahwa Kurawa takkan mampu mengalahkan Pandawa jika Duryudana memilih perang sebagai jalan pembalasan dendamnya. Kemudian disepakatilah bahwa Kurawa akan menantang Pandawa berjudi.

Semula Sang Drestaratya, ayah para Kurawa, tidak setuju. Namun karena kelemahan hatinya, pada akhirnya ia mengutus Arya Widura untuk mengundang Yudistira dan para saudaranya datang ke Hastinapura untuk berjudi dengan Duryudana dan para saudaranya. Meskipun semula dicegah oleh adik-adiknya, demi menghormati undangan itu Yudistira pun memutuskan hadir ke Hastinapura untuk bermain dadu bersama para Kurawa. Yudistira selalu kalah. Seluruh harta yang dipertaruhkannya menjadi hak Kurawa. Karena kekalahannya itu, bahkan dirinya sendiri dan para saudaranya pun kemudian harus rela menjadi abdi Kurawa.

Arya Sakuni yang sangat licik mengetahui bahwa Duryudana menyimpan dendam kepada Pandawa karena ia tak dapat menyunting Dewi Drupadi saat ikut berlomba di Pancala. Sekarang Dewi Drupadi, perempuan yang kecantikannya tiada tara itu adalah istri kinasih Yudistira dan adik-adiknya. Inilah kesempatan emas bagi Duryudana untuk membalaskan dendamnya. Maka Yudistira pun ditantang untuk berani mempertaruhkan Dewi Drupadi dalam permainan dadu mereka.

Kekalahan membutakan mata dan hati Yudistira. Akhirnya ia setuju menjadikan Dewi Drupadi sebagai taruhan. Dan sekali lagi, ia kalah.

Duryudana sangat girang. Segera diperintahnya Arya Widura memanggil Dewi Drupadi ke arena perjudian. Nasihat Arya Widura yang mempertanyakan hak Yudistira mempertaruhkan Dewi Drupadi membuat Duryudana murka. Disuruhnya Dussasana adiknya untuk memanggil Dewi Drupadi. Bila Dewi Drupadi menolak, Dussasana diperintahkan untuk membawanya dengan cara kekerasan.

Alangkah girang Dussasana mendapatkan perintah itu. Ia segera merenggut rambut Dewi Drupadi dan menyeretnya ke arena. Yudistira memperingatkan agar Kurawa tidak bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan. Namun peringatannya tak terdengar oleh Kurawa yang sedang mabuk kemenangan. Mereka terus mempermalukan Dewi Drupadi.

Bima yang tak dapat menahan kemarahannya hendak membakar tangan Yudistira karena kakaknya itu telah menyengsarakan hidupnya sendiri, adik-adiknya, rakyatnya dan kini istri mereka pula. Namun Arjuna dapat mencegahnya.

Adipati Karna membakar semangat para Kurawa dengan menyatakan bahwa semua yang dipertaruhkan Yudistira telah menjadi hak milik Kurawa. Pakaian yang dikenakan para Pandawa pun adalah milik Kurawa. Mereka harus menanggalkannya sekarang juga. Para Pandawa segera menanggalkan pakaian mereka hingga tertinggal penutup kemaluan saja. Dussasana menarik kain Dewi Drupadi. Namun ajaib, berkat pertolongan Hyang Wisnu, Dewi Drupadi tak sampai telanjang. Setiap kali pakaiannya ditarik Dussasana, selalu ada kain pengganti penutup tubuhnya.

Bima menggeram marah dan berkata: “Aku tak mau berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat merobek-robek dada Dussasana dan minum darahnya!” Demikian pula Dewi Drupadi bersumpah takkan berkumpul dengan keturunan Kuru sebelum berkeramas dengan darah Dussasana.

Semua yang mendengar sumpah itu merasa takut. Namun Duryudana masih sempat melanjutkan penghinaannya dengan menyingkap kainnya dan menyinggungkan paha kirinya ke punggung Dewi Drupadi. Melihat kelakuannya itu, Bima yang sangat marah berujar: “Aku takkan berkumpul dengan leluhurku sebelum dapat menghancurkan paha kiri Duryudana dengan gadaku!” Sumpah Bima itu seolah disambut auman serigala dan tanda-tanda alam lain yang sangat mencekam.

Dewi Drupadi memohon kepada Sang Drestaratya agar menolongnya. Akhirnya Destraratya mengabulkan permohonan Dewi Drupadi. Yudistira dan saudara-saudaranya dibebaskan. Semua kekayaan Indraprasta dan hak yang dipertaruhkan dalam permainan dadu itu dikembalikan kepada Pandawa.

Pembebasan itu diejek oleh Adipati Karna yang melambangkan Dewi Drupadi sebagai perahu yang ditumpangi Pandawa. Kendati sangat marah, Pandawa menerima penghinaan itu dan sambil mengucapkan terima kasih kepada Drestaratya, mereka pun pulang ke Indraprasta.

Drupadi yang setia
Pengalaman kalah berjudi itu ternyata tak membuat Yudistira jera. Beberapa saat kemudian, ia menerima tantangan Duryudana untuk bermain dadu lagi. Taruhannya bukan harta. Yang kalah wajib mengasingkan diri selama 12 tahun di dalam hutan. Kemudian, pada tahun ketigabelas harus bersembunyi dalam samaran di sebuah negeri asing. Pada tahun keempatbelas barulah boleh pulang ke negeri sendiri. Namun, apabila dalam persembunyian itu mereka dapat ditemukan oleh pemenang, mereka yang kalah harus mengulangi pengasingan diri mereka sejak awal.

Dewi Gendari, istri Sang Drestaratya meminta agar suaminya tidak mengizinkan putra-putra mereka melaksanakan niat jahat itu. Tetapi permintaannya tidak dihiraukan. Izin sudah diberikan. Drestaratya tak ingin Kurawa selalu menjadi pecundang. Dan ia sadar Kurawa takkan dapat mengalahkan Pandawa dalam perkelahian yang jujur. Permainan dadu sudah terbukti dapat memberikan pengalaman menjadi pemenang bagi para putranya. Ia pun tahu bahwa Yudistira dan adik-adiknya tak pernah mengabaikan tantangan. Para ksatria Pandawa akan malu bila tak berani menanggapi tantangan.

Terjadilah perulangan kekalahan Yudistira dalam permainan dadu itu. Ia dan saudara-saudara beserta seluruh keluarga mereka harus segera berangkat mengasingkan diri diiringi ejekan Kurawa. Bima mengutuk muslihat Kurawa. Arjuna mengancam akan membunuh Adipati Karna dalam peperangan besar yang terjadi kelak. Sahadewa mengancam akan membunuh Sakuni dan Nakula akan membunuh sisa putra Sang Drestaratya yang masih hidup.

Namun demikian para Pandawa harus menjalani hidup terasing di dalam hutan sebagai akibat kekalahan Yudistira. Penderitaan itu mereka terima sebagai keniscayaan yang pada gilirannya akan meneguhkan kebersamaan mereka sebagai para ksatria.

Para kerabat dan sahabat Pandawa silih berganti berkunjung dan menghibur. Batara Kresna yang sangat marah berujar: “Bumi akan menghisap darah Duryudana, Karna, Dussasana dan Sakuni. Setelah para Kurawa dan sekutu-sekutu mereka hancur lebur, saya akan menobatkan Yudistira menjadi Raja Hastinapura. Orang jahat sepantasnya dibasmi dari muka bumi!” Ia sangat menyesal karena sedang berperang sehingga tidak dapat mendampingi Pandawa saat mereka bermain dadu di Hastinapura. Jika tak dicegah oleh Arjuna, saat itu juga Batara Kresna hendak membawa pasukannya untuk menyerbu Hastinapura.

Mendengar kisah Dewi Drupadi yang mengenaskan, Batara Kresna berkata: “Adinda Dewi, janganlah dikenang lagi kejadian-kejadian yang lalu karena kenangan buruk itu hanya akan merusakkan pikiranmu. Manusia takkan luput dari segala akibat perbuatannya. Demikian pula Duryudana yang telah menyakiti hatimu. Kelak istrinya akan menangis seperti Adinda sekarang ini karena melihat mayat suaminya menggeletak di tanah berlumuran darah. Perkataanku ini akan terbukti. Hentikanlah tangismu. Saya yakin Adinda kelak akan menjadi permaisuri raja gung binatara lagi. Percayalah!”

Dalam beberapa kesempatan, Dewi Drupadi mengeluh kepada Yudistira yang telah menyebabkan seluruh keluarganya menderita. “Kakanda, jika melihat tempat Kakanda tidur dan pakaian Kakanda dan saudara-saudara semua, hati hamba bagai diiris-iris sembilu. Padahal Kakanda adalah seorang raja gung binatara. Dulu Kakanda dan saudara-saudara semua tidur di tempat yang aman dan nyaman, menikmati aneka makanan yang lezat, berpakaian serba bagus dan bersih. Tapi lihatlah Kakanda dan saudara-saudara semua sekarang! Kita tidur terlantar di atas tanah tanpa alas, badan penuh debu. Kakanda tidak lagi duduk di singgasana dan disembah para raja! Dulu Kakanda dapat menjamu para pertapa dan menyenangkan hati mereka. Tetapi sekarang Kakanda sendiri sengsara, harus masuk keluar hutan dengan tak karuan tujuan. Tidakkah Kakanda kasihan kepada hamba yang mengikuti perjalanan Kakanda karena sudah jadi kewajiban hamba sebagai istri, sehidup semati dengan Kakanda? Kapankah Kakanda memperlihatkan keperwiraan dan keberanian untuk menegakkan keadilan yang merupakan kewajiban setiap orang? Bukankah Bima memiliki kekuatan yang melebihi sepasukan prajurit? Lupakah Kakanda akan kecakapan dan kesaktian Arjuna yang dengan kedua tangannya dapat membunuh ribuan musuh? Tak dapatkah mereka membangunkan semangat Kakanda untuk menghadapi musuh kita? Arjuna adalah pahlawan dunia, dihormati oleh para penghuni nirwana. Namun kini ia terpaksa menahan amarah karena patuh mengikuti kehendak Kakanda. Tidakkah Kakanda merasa iba kepada Adinda Nakula dan Sahadewa yang masih muda taruna, terpaksa mengabaikan kecakapan tempur mereka, menderita sengsara dalam hutan, dan membiarkan orang-orang yang berwatak angkara merajalela?”

Yudistira menjawab: “Adinda, ketahuilah bahwa ksatria yang tak dapat menahan diri dan suka memperlihatkan amarahnya akan mendapatkan celaan. Demikian juga orang yang tak mau mengampuni musuh yang pantas diampuni akan dicela oleh dunia dan terkutuk pula di akhirat. Orang yang selalu mengampuni musuh takkan mendapatkan kehormatan. Namun, orang yang sentosa budinya akan dapat menjalankan keadilan. Kakanda tahu sudah menjadi kewajiban Kakanda untuk tidak mengampuni musuh yang selalu ingin membinasakan kita semua. Sebenarnya keperwiraan Kakanda dan para adinda akan dapat menghancurkan musuh kita. Tetapi amarah itu merusak dan jadi sumber kesengsaraan. Orang yang marah tak dapat membedakan perkataan yang pantas dan tidak pantas diucapkan. Ia tak segan melakukan kekejaman maupun perkataan yang serba buruk. Akibat marah, orang tak segan menebarkan fitnah. Maka orang yang bijaksana selalu berusaha menahan amarahnya.

Wahai Adinda yang setia kepada suami, bagaimanakah Kakanda akan dikuasai amarah apabila Kakanda selalu berdaya upaya menghilangkan amarah dalam diri Kakanda? Orang yang tidak memerangi amarah orang lain akan dapat menolong diri sendiri dari kesengsaraan. Orang yang tak sentosa budinya – jika difitnah orang lain – seketika juga keluarlah amarahnya dan itu akan menyebabkan apa pun yang akan dilakukannya menjadi kurang dapat dikendalikannya sendiri. Apakah Adinda ingin Kakanda merusak diri sendiri?

Adinda, ketahuilah, orang yang lemah harus dapat menahan amarah. Orang yang punya belas kasihan lebih baik daripada orang yang berwatak jahil. Oleh karena itu Kakanda tidak ingin mengikuti amarah yang jadi sumber kesengsaraan. Kemarahan orang yang baik tidak meresap di hati. Yang waskita dan yang sentosa budinya ialah orang yang dapat menahan amarah. Orang yang marah tidak dapat memilih dengan tepat. Orang yang demikian umumnya tak suka menghormati orang lain. Malah jika didorong oleh kemarahannya, ia suka membunuh orang yang sebenarnya tak pantas dibunuh. Orang yang dikuasai oleh amarahnya tidak mudah mendapat kemuliaan dan keutamaan. Orang yang dapat menahan nafsu dapat mempergunakan kekuatannya dengan tepat.

Jika di dunia ini tak ada yang suka mengampuni, dunia takkan tenteram, selalu ada keributan yang bersumber pada hawa nafsu. Fitnah dibalas fitnah, anak polah bapak kepradah, saling membalas. Rusaklah dunia ini!

Adinda Drupadi, walaupun Kakanda akan membalas perbuatan Duryudana dan para saudaranya, Kakanda tidak mau melakukannya karena terdorong oleh amarah semata. Kakanda akan berusaha berlaku sejujur-jujurnya.”

Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, menurut pikiran hamba, dunia ini kurang adil. Bahagia tak dapat dicapai dengan menjalankan keutamaan, budi pekerti, suka mengampuni, suci hati dan tidak melanggar larangan. Buktinya Kakanda sendiri yang selalu menjalankan keutamaan tak juga mendapatkan kebahagiaan. Begitu pula saudara-saudara Kakanda! Sejak dulu hingga sekarang, Kakanda menganggap keutamaan lebih berharga daripada derajat duniawi. Kakanda menjadi raja gung binatara dengan maksud melindungi keutamaan yang buahnya akan melindungi Kakanda. Namun buktinya tidak demikian. Kakanda dan saudara-saudara Kakanda sekarang menderita sengsara.

Di lain pihak, karena terdorong oleh hawa nafsu, Kakanda telah melakukan tindakan yang tak terlebih dulu matang dipikirkan akibatnya. Kakanda kalah dalam permainan dadu sehingga menyengsarakan dan menghilangkan keutamaan kita semua. Saat itu hati hamba remuk redam.

Rupanya di dunia ini tak ada keadilan. Buktinya orang yang luhur budi pekertinya, suci bersih hatinya, justru mendapatkan hukuman. Sedangkan orang yang jahat malah mendapat kebahagiaan. Duryudana yang jahat bahagia, sebaliknya Kakanda yang selalu menjalankan keutamaan harus sengsara seperti ini. Jika memikirkan hal itu, hamba tak dapat mengatakan bahwa Hyang Widi adil.”

Yudistira berkata: “Adinda Drupadi! Janganlah kehilangan kepercayaanmu kepada Hyang Widi! Kakanda tidak mengharapkan hasil jerih payah Kakanda. Darma selalu Kakanda lakukan sebagai kewajiban setiap insan. Kakanda gemar melakukan keutamaan. Tetapi, orang yang mengharapkan buah keutamaan sesungguhnya meninggalkan keutamaan. Orang yang kurang tinggi budinya selalu bimbang dalam menjalankan kebajikan. Maka ia takkan dapat memetik hasil kebajikannya karena kurang percaya. Karena itu, janganlah bimbang dalam berbuat kebajikan. Siapa yang tidak percaya kepada agama, kepada keutamaan dan kepada ajaran suci, takkan mendapat tempat dalam kemuliaan abadi. Sang Wyasa, Sang Wasista, Sang Narada dan lain-lain bisa mencapai kemuliaan jiwa tak lain karena mereka telah menjalankan keutamaan.

Orang yang picik pengetahuan mengira bahwa benda kasat mata sajalah yang dapat mendatangkan kesenangan. Oleh karena itu, jika ia mengerjakan keutamaan, hatinya selalu bimbang. Orang yang demikian tidak akan diampuni dosanya. Selama hidup ia akan terlibat dalam kesusahan. Kelak pun ia takkan mendapat tempat yang menyenangkan di alam baka. Orang yang tak berlindung pada keutamaan akan menjelma kembali menjadi binatang.

Adinda Dewi, jika keutamaan tak menghasilkan buah berlimpah bagi kesentosaan budi, tak seorang pun sudi mengejar keutamaan. Jika demikian, dunia ini akan diliputi kejahatan dan hidup manusia tak ubahnya seperti binatang. Hasil keutamaan tak hanya bisa dipetik di dunia, melainkan juga di akhirat. Maka hilangkanlah kebimbanganmu dan teguhkan kepercayaanmu pada Hyang Widi. Janganlah mencela-Nya lagi.”

Dewi Drupadi menjawab: “Kakanda, hamba sama sekali tidak mencela dan menyalahkan Hyang Widi. Barangkali, kesengsaraan ini telah menggelapkan hati hamba. Tetapi, segala makhluk yang dapat bergerak semestinya bekerja. Manusia itu ditakdirkan berbeda-beda dan masing-masing wajib mengisi hidupnya dengan kerja. Orang yang tidak mau bekerja takkan mendapat kemajuan apa pun. Begitu pula hendaknya Kakanda bekerja supaya tak dicela dunia. Mengapa Kakanda tak berlaku sebagai layaknya ksatria utama, membela nusa dan bangsa dengan mengangkat senjata, menggempur musuh yang angkara murka? Jika tidak ada ksatria yang mau melakukannya, bukankah segala sesuatu yang ada di dunia ini akan musna oleh keangkaramurkaan? Jika keutamaan ksatria pun tak menghasilkan apa-apa yang berguna bagi nusa dan bangsanya, bukankah dunia takkan berkembang menjadi lebih baik daripada sebelumnya? Menurut hamba, salahlah orang yang hanya menerima takdir tanpa upaya memperbaiki jalan hidupnya sendiri, seolah-olah takdir, takdir, dan hanya takdir itulah penentu kehidupannya!

Menurut hamba pula, orang yang percaya bahwa setiap pekerjaan akan menghasilkan buah dan karena ia telah mengupayakannya sepenuh daya yang dianugerahkan pula kepadanya, ia pantas dipuji. Kini Kakanda menderita sengsara. Tapi, jika Kakanda mau bekerja sebagai layaknya ksatria, kerusakan dan kesengsaraan itu mungkin akan lenyap atau berkurang. Jika kita telah bekerja dengan sungguh-sungguh dan ternyata tak ada buahnya juga, barulah kita menyerah kepada takdir. Karena itu, Kakanda, marilah kita berjuang merebut kembali negeri kita dari tangan musuh!”

Bima yang sejak tadi menyimak pembicaraan Dewi Drupadi dengan kakaknya tak sabar menyela: “Kakak, hendaklah Kakak menempuh jalan yang biasa ditempuh para ksatria. Apakah gunanya kita menempuh hutan belukar seperti ini? Sudah terbukti, jika kita terus hidup begini, kita akan semakin kehilangan kebahagiaan, kehormatan dan kemuliaan. Negeri kita telah direbut Duryudana melalui permainan dadu. Apakah gunanya Kakak berpegang teguh pada keutamaan yang justru membawa kita ke jurang kesengsaraan? Karena kelalaian Kakak, Indraprasta sedemikian mudah dapat direbut musuh. Mereka tak mungkin melakukannya melalui jalan perang. Kami telah menurutimu menjalankan keutaman sehingga kehilangan kebahagiaan dan kehormatan. Kini Dewi Drupadi dan adik-adik menderita sengsara karena semua mematuhimu.

Kakakku, orang yang mau hidup mengembara dalam hutan seperti binatang adalah orang yang tak memiliki keberanian hidup di tengah tantangan dunia dan bersama dengan sesama. Orang yang berani tentu akan merebut kembali hak miliknya yang direbut musuh. Apakah Kakak sedemikian bingung hingga jadi lemah begini? Sudah lenyapkah watak ksatria Kakak? Keutamaan Kakak sajakah yang Kakak pikirkan dan tidak menghiraukan nasib saudara-saudara sendiri? Drestaratya dan Kurawa tentu mengira kita tidak berani melawan Duryudana. Mereka tentu mengira kita adalah para ksatria utama yang selalu mengampuni kesalahan mereka. Benarkah keutamaan itu lebih berarti daripada mati di medan laga? Kalau aku mati di medan laga tanpa luka, apakah ajalku itu berharga?

Kakak, kalau Pandawa berani berkurban jiwa dan raga, berperang merebut kembali negeri kita, niscaya seluruh dunia akan menghargai kita. Takkan ada yang berani mencela ksatria yang mengambil kembali haknya. Keutamaan yang menjerumuskan diri dan teman-teman ke jurang kesengsaraan bukanlah keutamaan sejati. Banyak orang yang gemar mengejar keutamaan pada akhirnya beku pikirannya. Tak lagi dapat merasakan girang dan susahnya kehidupan.

Kakak, keduniawiaan tak dapat dicapai hanya dengan minta-minta, tetapi harus dengan budi pekerti yang berazas keutamaan. Pekerjaan meminta-minta tak selayaknya dilakukan para ksatria. Keutamaan ksatria terdapat dalam kekuasaan dan keberanian meraih dan mempertahankannya sekuat tenaga. Ayolah, Kakak, marilah kita menjalankan keutamaan ksatria! Mari kita binasakan musuh kita!

Menurut para bijaksana, kemuliaan adalah tujuan keutamaan. Maka marilah kita berusaha mencapainya. Tak sepantasnya Kakak hidup sehina ini. Bangunlah. Penuhilah kewajiban ksatria, menjalankan tugas secara jantan itu kemuliaan kita. Tanpa disertai kekerasan hati, kemauan hanya angan-angan yang lekas sirna. Orang kaya yang akan menambah kekayaannya harus mengeluarkan sebagian kekayaannya. Panen yang dipungut setiap orang seharusnya lebih banyak daripada biji yang telah ditanamnya. Ayolah, Kakak, jangan berkecil hati dan ragu akan hasil perjuangan kita. Ingatlah kepada para leluhur yang senantiasa melindungi negeri dan rakyat kita. Itu jugalah kemuliaan kita!

Kemuliaan ksatria tak dapat dicapai hanya dengan bertapa, tetapi juga melalui perang yang berpedoman pada keutamaan. Ayolah naik kereta perang dan minta kepada para brahmana supaya perjuangan kita berhasil! Marilah hari ini juga kita menggempur Hastinapura! Aku akan mengikuti dan memanggul senjata dengan gembira jika Kakak bersedia merebut kembali hak kita!”

Yudistira menjawab: “Bima, perkataanmu itu semuanya benar. Saudara-saudara menderita karena kelalaianku. Orang yang memiliki kesetiaan sepertiku akhirnya sengsara. Tapi aku tidak dapat memungkiri janjiku, apalagi janji yang disaksikan oleh orang baik-baik. Janji itu harus kutepati. Bagiku lebih baik mati daripada meraih semua kemuliaan dunia dengan jalan ingkar janji.

Adikku, ketika aku bermain judi, engkau sangat marah sehingga hendak membakar tanganku yang telah menyengsarakan kalian semua. Syukurlah Arjuna dapat mencegah kemarahanmu. Sebagai ganti, engkau meremas-remas tanganmu sendiri. Jika engkau benar-benar percaya kepada kekuatanmu sendiri, mengapa engkau tidak mencegah aku mengadakan perjanjian? Sekarang Pandawa telah terlanjur menderita. Apakah gunanya engkau memarahi aku?

Rusak binasa hatiku ketika melihat Drupadi dipermalukan Kurawa. Hatiku seperti terbakar. Namun karena aku telah berjanji di depan Kurawa, aku tak dapat mengingkari janji itu.

Bersabarlah, Adikku. Kita akan mendapat kembali kebahagiaan dan kehormatan itu pada saatnya nanti. Marilah kita menunggu saat memetik buah keutamaan janji kita sebagai ksatria utama. Bagiku, keutamaan lebih berharga daripada jiwaku dan segala kehormatan dunia.”

Bima tak menyerah dan terus berusaha membujuk Yudistira: “Kakak, mengapa Kakak tak memiliki kekerasan hati dan hanya pasrah kepada waktu? Adakah kesengsaraan yang lebih dahsyat daripada yang kita derita saat ini? Kakak takut mengingkari janji, tapi Kakak lupa, bahwa janji itu dipaksakan musuh melalui tipu muslihat mereka. Kakak tidak tegar hati. Padahal Kakak dilahirkan untuk membimbing kami semua, adik-adikmu, untuk menjadi ksatria utama! Manusia diwajibkan menunjukkan kemarahannya, jika perlu. Kakak punya pikiran, punya kekuatan, punya pengetahuan, dan lebih dari itu keturunan ksatria utama. Mengapa Kakak tak berlaku sebagai ksatria, yang menjadikan keangkaramurkaan sebagai musuh abadi? Mengapa kita harus terus bersembunyi ketika dunia membutuhkan kita? Kakak telah tersohor di mata dunia sebagai penakluk banyak negeri. Sudah tentu para raja di negeri-negeri itu membenci kita. Sudah tentu pula mereka selalu mencari kita dan melaporkan keberadaan kita kepada musuh kita. Jika demikian, kita akan selalu harus mengulangi hukuman karena jejak kita selalu diketahui musuh kita. Jika kita selalu bersembunyi, tetapi selalu ketahuan, apakah gunanya kita menepati janji? Maka marilah memperteguh cita-cita membasmi angkara murka. Pekerjaan utama seorang ksatria adalah menegakkan keadilan.”

Yudistira menjawab: “Adikku Bima, segala sesuatu yang dilakukan dalam amarah, tak dipikirkan lebih dulu, akan menjadi sumber kerusakan seperti yang terjadi pada diri kita sekarang ini. Akan tetapi jika dipikirkan masak-masak terlebih dulu, niscara hasilnya akan lebih memuaskan. Para dewa pun memikirkan terlebih dulu segala tindakan mereka. Ketahuilah olehmu, Adikku, karena hatimu penuh amarah, engkau akan berangkat menggempur musuh sekarang juga. Engkau mengerti bahwa para raja yang kita taklukkan tentu membenci kita. Mereka tentu memihak Kurawa dan ingin membalas dendam kepada Pandawa. Ingatlah pula kesaktian Dussasana, Salya, Jalasanda, Karna dan Aswatama. Duryudana dan yang lain-lainnya pun tak mudah dikalahkan. Belum lagi para panglima dan keluarganya. Apalagi Bima, Druna dan Krepa. Kendati memahami makna keadilan, mereka tentu memihak Kurawa karena mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka itu sakti. Bahkan dewa pun agaknya tak mudah melawan mereka. Mengingat hal itu, aku selalu sulit tidur.” Jawaban Yudistira itu mengacaukan pikiran Bima sehingga tak dapat berkata-kata lagi.
 
Drupadi tetap setia
Dalam masa persembunyian Pandawa di dalam hutan, ketika mereka sedang berburu dan meninggalkan Dewi Drupadi sendirian, datanglah Jayadrata, raja negeri Sindu yang terpikat pada kecantikannya. Ia membujuk Dewi Drupadi agar mau menjadi permaisurinya: “Sekarang aku telah menyaksikan sendiri keutamaanmu. Engkau tidak pantas menderita begini. Ikutlah denganku agar engkau dapat mengenyam kenikmatan dunia. Engkau tak pantas menjadi permaisuri seorang raja celaka. Yudistira telah kehilangan negerinya, dan bahkan dirinya sendiri!”

Resi Domea, brahmana yang hendak menolong Dewi Drupadi mengecam Jayadrata: “Hai, Raja Jayadrata, janganlah melanggar kesusilaan! Laki-laki tak boleh melarikan istri orang lain jika suaminya belum dikalahkan!”

Namun kecaman itu tak menyurutkan niat Jayadrata. Ia melarikan Dewi Drupadi dengan keretanya.

Sepulang dari berburu, Pandawa segera sadar bahwa Dewi Drupadi telah diculik. Bekas roda kereta Jayadrata memberikan petunjuk yang memudahkan mereka mengejar dan mengalahkan Jayadrata untuk merebut kembali Dewi Drupadi. Yudistira berbelas kasih mengampuni Jayadrata dan mengizinkannya kembali ke negerinya.

Sesudah menyelesaikan masa 12 tahun persembunyian mereka di dalam hutan, Pandawa mengabdi Raja Wirata dalam berbagai samaran. Kincaka, ipar Baginda Wirata jatuh hati kepada Dewi Drupadi dan berusaha merayunya. Tetapi Bima dalam samaran sebagai Balawa berhasil membunuhnya.

Dalam akhir kisah Mahabarata, Dewi Drupadi mengikuti Pandawa membuang diri ke dalam hutan. Di gurun pasir Gunung Himawan, Dewi Drupadi mati. Bima bersedih hati dan melaporkannya kepada Yudistira: “Kakak, lihatlah Dewi Drupadi telah mati dan tak dapat mengikuti Kakak lagi.”

Yudistira berkata: “Adikku Bima, janganlah bersusah hati tentang kematiannya. Drupadi sangat mencintai kita berlima. Namun kita semua tahu bahwa ia paling mencintai Arjuna. Kini ia telah menuai buah perilakunya dan tak dapat mengikuti kita lagi.”

Demikianlah berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna dan Bima pun mati dalam perjalanan terakhir mereka. Tinggallah Yudistira dengan seekor anjing yang sangat setia mendampinginya. Yudistira menolak tawaran para dewata untuk naik ke Nirwana bila anjingnya tak ikut bersamanya.

“Hamba tak dapat meninggalkannya karena ia sangat setia kepada hamba. Ia selalu mengikuti ke mana pun hamba pergi. Jika hamba mengabaikan kesetiaannya, dunia tentu akan mengatakan bahwa budi pekerti hamba sangat rendah.”

Hyang Indra berkata: “Yudistira! Umumnya orang tak menghargai kesetiaan orang lain. Buktinya engkau sendiri tak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu. Jadi, engkau pun tak setia!”

Yudistira menjawab: “Tidaklah tepat bila dikatakan hamba tidak menghargai kesetiaan saudara-saudara hamba. Bukankah mereka telah terlebih dulu mati? Jika mereka masih hidup dan hamba meninggalkan mereka, maka perbuatan itu serupa dengan hamba membunuh istri hamba yang sangat setia atau membunuh brahmana atau tak sudi menolong orang yang meminta perlindungan, merampok harta benda orang suci dan mengkhianati teman. Itulah sebabnya hamba tidak dapat meninggalkan anjing ini. Lebih baik hamba tidak naik ke sorga daripada meninggalkannya.”

Tiba-tiba anjing itu menghilang dan beralih rupa menjadi Hyang Darma yang lalu memeluk Yudistira sambil berkata: “Anakku Yudistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika engkau berada di hutan dan semua saudaramu mati. Engkau tidak meminta supaya Bima dan Arjuna dihidupkan lagi, tetapi justru meminta Nakula hidup demi kepentingan Dewi Madrim, ibunya. Kedua kali adalah sekarang. Engkau sangat menghargai kesetiaan anjing, sehingga tak mau naik ke sorga jika tidak bersama-sama dengan anjing yang setia kepadamu. Karena keutamaanmu, marilah naik ke sorga beserta jasadmu.”

Akhirnya, berkat keutamaan Yudistira pula, saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi pun dapat naik ke sorga bersamanya.
(And)
 
Resolution On 2014
...
MY BOOK
...
DEVELOPMENT
AndrieDiary | Home | About | Contact Us | Advertise
Copyright © 2011. Inspiration Story - All Rights Reserved